Sabtu, 11 Agustus 2012

Sejarah sutera

Beribu-ribu tahun yang lampau sejarah sutera telah dimulai, bahkan sebelum penanggalan masehi dimulai. Pelopor kegiatan persuteraan dunia adalah negeri China.

Orang chinalah yang pertama kali membudidayakan ulat sutera dengan pemberian pakan daun murbei. Mereka mengubah kokon lewat proses pemintalan menjadi benang sutera dan menenunnya menjadi kain. Mereka juga memasarkan sutera ke seluruh dunia. Pada masa pemerintahan dinasti Han (206 SM - 25 SM) sudah ada pabrik pemintalan benang sutera. Ketika pertama kali diperkenalkan, kain sutera sudah menarik hati para keluarga kerajaan china. Pakaian-pakaian keluarga kerajaan yang mewah dan indah ini lalu ditiru oleh para bangsawan dan orang-orang kaya di wilayah itu. Akibatnya, dimulailah usaha persuteraan secara massal. Banyak petani china yang menanami lahannya dengan pohon murbei dan memelihara ulat sutera.

Naluri dagang yang dimiliki orang china membantu memperluas budidaya ulat sutera hingga melintas ke negara-negara di sekitarnya, bahkan sampai jauh ke Eropa. Lewat jalur perdagangan yang masyhur yaitu jalur sutera atau silk road, sutera dibawa ke luar dataran China. Dengan menggunakan karavan, pedagang china membawa kain sutera sampai ke eropa melalui gurun ghobi dan turki, serta daratan negara-negara di Asia Kecil.

Japang dan korea di Asia Timur, serta daerah-daerah di Asia Barat seperti India, sejak abad ke-4 sudah mengenal budidaya dan pengolahan sutera. Sedangkan daerah-daerah di Asia Tenggara mengenal sutera ketika orang china melewati daerahnya untuk mengembangkan sutera ke India. Saat itu yang dikenal baru kain suteranya, sedangkan budidaya ulat sutera sendiri dikenal lama setelah itu.

Setelah jalur sutera mencapai eropa, kota venesia di Italia menjadi pusat perdagangan sutera antar negara Timur dan Barat. Bangsa arab yang berpusat di kota bagdat dan damaskus mengembangkan teknik penenunan kain sutera. Sutera lantas terkenal ke seluruh penjuru dunia. Perdagangan lewat laut memperluas pasaran sutera ke Perancis, Spanyol dan Inggris. Dari daerah-daerah ini, berlanjut ke seluruh daratan eropa, terutama jerman.

Sejak abad ke 13, perancis mulai mengusahakan kain sutera. Perkembangan usaha persuteraan sungguh sangat pesat dinegara ini. Pada abad ke 16, daerah Lyon saja terdpat sekitar 5 ribu ahli pembuat sutera. Karna pesatnya kebutuhan akan kokon dan benang sutera, maka akhir abad ke-16 tiu Perancis dan Italia mulai membudidayakan ulat suteranya. Di Inggris pabrik penenunan sutera pertama kali didirikan pada abad ke-15

Sedangkan jepang mengenal sutera tidak lama setelah China memulainya. Pada abad ke-2 bibit kupu-kupu penghasil sutera didatangkan ke Jepang dari China. Perkembangan yang pesat kemudian menjadikan kegiatan persuteraan menjadi tulung punggung perekonomian jepang. Di zaman Meiji, tahun 1880, jepang menhasilkan 44.000 ton kokon atau sama dengan 2.000 ton sutera mentah. Pada tahun 1930, ekspor jepang sekitar 30-50% didominasi oleh sutera mentah, yaitu sebanyak 40.000 ton. Sayang sekali perkembangan industri lain di jepang menggeser kejayaan usaha sutera. Lahan-lahan murbei yang berkurang karena perluasan areal industri menyebabkan prosuksi jepang menurun.

Dibandingkan negara lain, Amerika Serikat termasuk terlambat mengenal persuteraan. Pabrik penenunan kain sutera baru didirikan tahun 1838 di daerah new georgia. Daerah inilah yang kelak menjadi pusat persuteraan Amerika.

Indonesia sendiri diperkirakan mengenal persuteraan setelah terjalin hubungan antara  China dan India dengan kerajaan-kerajaan di Indonesia. Awalnya memang hanya dikenal kain suteranya saja. Budidaya pemeliharaan sutera dikenal  saat

Jumat, 10 Agustus 2012

Ulat sutera

Ulat sutera terdiri dari beberapa jenis. Berdasarkan siklus hidupnya dibedakan 2 jenis, yaitu polyveltine dan biveltine. Jenis ulat polyveltine berasal dari daerah tropis. Telurnya dapat menetas secara alamiah. Sayang kualitas suteranya kurang baik. Jenis biveltyne berasal dari daerah dengan 4 musim. Telurnya hanya dapat menetas sesudah musim dingin (winter). Kualitas sutera yang dihasilkannya lebih baik.

Beradasarkan rasnya, ulat sutera terbagi  menjadi 4, yaitu: ras eropa, ras china, ras jepang dan ras tropis. Di Indonesia saat ini banyak dikembangkan hasil silangan antara ras china dan ras jepang. Ternyata hasilnya banyak memiliki keunggulan daripada ras aslinya.

Untuk membesarkan ulat-ulat ini diperlukan pakan yang sampai saat ini masih tergantung dari daun murbei. Daun murbei yang baik untuk pakan adalah yang kandungan nutrisinya tinggi, tidak kaku dan tidak berbulu. Pemberian pakan dibedakan atas ulat yang masih kecil dan ulat besar. Ulat kecil terdiri dari instar I, II, dan III. Ulat besar terdiri dari instar IV dan V. Mutu daun murbei akan mempengaruhi pertumbuhan ulat sutera, mutu kokon, serta mutu serat yang dihasilkan.

Dewasa ini para peneliti berupaya menemukan alternatif pakan lain. Pakan yang sudah dicoba adalah daun singkong. Penelitian tersebut dalam taraf penyelidikan awal, sehingga hasilnya belum bisa dipraktikkan.

Kegiatan persuteraan alam mencakup dua aspek, yaitu agronomi dan industri. Kedua aspek itu saling berhubungan. Aspek agronomi terdiri dari usaha pengelolaan tanaman murbei sebagai pakan, produksi telur dan bibit, serta kegiatan pemeliharaan ulat sutera hingga terbentuk kokon sampai panen. Aspek industri mencakup kegiatan pengolahan kokon menjadi benang berikut proses penenunan hingga menjadi kain sutera, Sering juga proses sutera berlanjut. Tidak hanya menjadi tekstil saja melainkan juga pakaian jadi atau garment.

Budidaya persuteraan alam sebenarnya tidak terlalu sulit. Petani-petani pasti mampu melakukannya. Selain itu, biaya yang dibutuhkan relatif murah. Dalam skala kecil kegiatan beternak ulat sutera bisa dikerjakan sebagai kegiatan rumah tangga.

Salah satu kendala dalam pemeliharaan ulat sutera adalah serangan penyakit pebrine yang mengakibatkan kerusakan pada kulit dan mulut ulat sutera. Beberapa daerah di Indonesia juga sempat terjangkit penyakit ini, untunglah cara pengendaliannya telah ditemukan. Disamping menghasilkan benang, ada manfaat lain yang dapat diambil dengan membudidayakan ulat sutera. Pupa atau kokon yang isinya sudah mati mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi. Pupa ini dapat kita berikan pada ternak piaraan seperti ayam, itik atau babi. Sisa pakan ulat dan kotorannya juga dapat digunakan sebgai pupuk tanaman.

Segi lain yang menarik dari budidaya ulat sutera ini adalah singkatnya masa pemeliharaan. Dalam waktu sekitar sebulan kokon sudah bisa dipanen dan dapat segera dijual. Bila diusahakan dalam skala besar serta didukung oleh banyak peternak lain, maka kegiatan pemintalan kokon menjadi benang merupakan bisnis yang mengiurkan.

Kamis, 09 Agustus 2012

Kain sutera

Kain sutera terkenal akan keindahan dan kehalusannya. Pakaian dari kain sutera walaupun mahal tetap saja diminati. Pemakaiannya selain merasa anggun dan nyaman, juga terangkat gengsinya. Banyak orang sengaja mengenakannya demi harga diri. Sebab masyarakat beranggapan, hanya orang berselera tinggi dan berasal dari kalangan menengah keatas yang mengenakan pakaian dari sutera.

Bagaimana proses terbentuknya sehelai kain sutera? Banyak yang belum tahu. Semua itu berawal dari sosok binatang yang menggelikan dan menjijikkan, yaitu ulat-ulat berwarna putih. Ulat itu dikenal dengan nama ulat sutera. Di luar negeri dikenal dengan nama silk worm.

Ulat sutera mengeluarkan air ludah atau liur yang mengandung protein. Itulah yang menjadi bahan pokok kokon. Kokon sebenarnya berfungsi sebagi pelindung dari proses perubahan ulat menjadi kepompong sebelum akhirnya menjadi dewasa. Kokon-kokon ini lantas dikumpulkan. Lewat proses pengolahan sederhana maupun canggih, filamen diubah menjadi benang sutera. Selanjutnya, benang ini ditenun menjadi.

Bila ulat sutera membentuk kepompong, maka setelah dewasa akan berubah menjadi ngengat. Di Indonesia, orang cenderung mengartikan serangga dewasa itu sebagai kupu-kupu sutera. Memang penampilan ngengat sutera agak mirip dengan kupu-kupu. Sayap, badan, dan anggota tubuh lainnya sekilas menunjukkan kesamaan. Padahal ngengat dan kupu-kupu berbeda.


Minggu, 05 Agustus 2012

Usaha budidaya ulat sutera

Usaha persuteraan membutuhkan cukup banyak tenaga kerja sehingga usaha ini dapat dikatakan sebagai jenis usaha padat karya. Disamping itu, diperlukan lahan yang cukup luas untuk mendukung kelangsungan usaha tersebut.

Bertitik tolak dari kenyataan ini, sebenarnnya usaha ini sukar berkembang di negara-negara industri maju karena tenaga kerja dan lahan bukan hal mudah untuk didapatkan disana. Dinegara-negara tersebut tenaga kerja memiliki harga yang cukup tinggi dan keberadaan lahan sudah sangat terbatas oleh karena ekspansi industri.

Jadi sudah sepantasnya jika indonesia, sebagai negara berkembang, yang cukup kaya tenaga kerja dan masih memiliki lahan pendukung yang cukup luas tampil sebagai negara penghasil sutera sejajar dengan negara penghasil sutera yang lain. Usaha keras memang perlu dilakukan untuk memenuhi harapan tersebut. Karena kenyataannya, sampai saat ini usaha persuteraan di Indonesia belum berkembang. Hambatan dari kemajuan ini karena pengolahan hasil yang masih tertinggal sangat jauh dengan negara yang telah maju dalam usaha persuteraan seperti jepang.